Warisan budaya menurut ICOMOS merupakan ekspresi dari gaya hidup yang dikembangkan oleh suatu kelompok masyarakat dan telah melewati berbagai turunan generasi ke generasi. Ekspresi tersebut meliputi adat istiadat, perilaku, tempat, objek, ekspresi nilai seni dan juga norma. Warisan budaya seringkali terbagi dalam dua jenis, di antaranya warisan budaya intangible dan warisan budaya tangible.
Warisan budaya tangible adalah warisan budaya yang berbentuk fisik. Warisan budaya tangible sering pula disebut dengan artefak. Sementara, warisan budaya intangible merupakan warisan budaya yang berbentuk non fisik. Warisan budaya intangible biasanya menghubungkan masyarakat antar generasi. Warisan budaya tersebut terbentuk dan diwarisi oleh generasi lama, dikembangkan pada generasi sekarang, dan kemudian memberikan manfaat terhadap generasi yang akan datang. Contoh dari warisan budaya intangible adalah folklor, tradisi, religi atau kepercayaan, lagu-lagu, prosa-puisi, bahasa, dialek dan pengetahuan setempat.
Di Cirebon sendiri terdapat banyak bentuk dari warisan budaya, baik itu warisan budaya tangible maupun intangible. Bentuk dari warisan budaya tangible di Cirebon misalnya bangunan-bangunan keraton Cirebon yang mencakup keraton kasepuhan, kanoman, dan kacirebonan. Selain bangunan keraton dan kawasannya, contoh lain dari warisan budaya tangible di Cirebon pula mencakup Taman Air Sunyaragi, Kelenteng Talang, Masjid Sang Cipta Rasa, dan bekas gedung BAT atau British-American Tobacco.
Sementara itu, bentuk warisan budaya non fisik atau intangible di Cirebon mencakup adat tradisi memayu, panjang jimat, bahasa Cirebon, lagu-lagu daerah, serta berbagai macam kesenian. Salah bentuk kesenian Cirebon yang termasuk dalam warisan budaya intangible adalah tarling.
Tarling, secara etimologi merupakan akronim dari gitar dan suling. Istilah tarling pula dapat diartikan sebagai yen wis mlatar gage eling yang berarti jika seseorang sudah banyak melakukan perbuatan dosa maka segeralah bertaubat atau sadar. Setidaknya, begitulah pengistilahan tarling yang disebut oleh masyarakat cirebon dan sekitarnya.
Dalam ensiklopedia Indonesia yang disusun oleh Van Hoove, kesenian tarling dijabarkan sebagai :
“Musik tradisional muda khas cirebon, alat musiknya yang utama terdiri dari gitar dan suling. Singkatan dari gi-tar-su-ling inilah asal nama music tarling itu. Lagu-lagu yang dimainkan adalah laras pelog yang swarantaranya didekatkan pada skala diatonic. Dalam nyanyian vocal, laras pelognya tetap dipertahankan seasli mungkin. Dari ansambel, tarling lama kelamaan berkembang menjadi suatu komedi serta tari-tarian yang sederhana.”
Dari pengertian tarling yang ditulis oleh Van Hoove, dapat diamati bahwa kesenian tarling dalam perkembangannya ialah merupakan kesenian yang total. Adapun maksud dari sebuah kesenian yang total adalah gabungan dari unsur-unsur kesenian yang ada yakni musik, tarian, dan drama yang disebut oleh masyarakat sebagai sandiwara. Salah satu contoh kesenian tarling yang memiliki konsep total ini ialah Baridin. Baridin merupakan judul kesenian tarling yang digubah dengan dilengkapi dengan unsur sandiwara. Meskipun begitu, agaknya istilah tarling lebih condong pada salah satu jenis musik di kawasan Cirebon dan sekitarnya.
Sejarah tarling disebutkan berawal pada tahun 1931 di Indramayu dengan wujud eksperimen pemindahan nada pentatonic gamelan menjadi nata diatonic gitar. Adapun perkembangan tarling di Cirebon dipelopori oleh Jayana dan Liem Sin You. Kedua orang ini memodifikasi kembali dengan memadukan nada dari alat music gitar dengan suling, sehingga warna dan jenis music yang menarik dan khas. Kesenian music tarling pada dasarnya merupakan modifikasi dari kesenian gamelan yang diciptakan dan dimainkan dalam laras pelog maupun laras slendro.
Istilah Tarling sebenarnya baru resmi menjadi nama dari jenis musik setelah Radio Republik Indonesia menyiarkan kesenian ini, dan Badan Pemerintah Harian meresmikan nama tarling sebagai sebuah kesenian yang harus dilestarikan sesuai dengan jenis musiknya yakni musik tarling itu sendiri. Peresmian nama tarling sebagai nama dari jenis musik terjadi pada tanggal 17 Agustus 1962.
Tarling sebagai salah satu bentuk kesenian mengalami transformasi bentuk dalam perkembangannya. Tarling secara mendasar dapat dibagi dalam dua bentuk, yakni bentuk klasik dan bentuk modern. Pola lagu dalam tarling pula lebih bermacam lagi. Pola lagu tarling dapat secara bebas terbentuk dalam berbagai jenis, baik tarling klasik, tarling tengdung, tarling dangdut, tarling pop, hingga tarling disko. Transformasi yang ada agaknya tidak bisa dengan mudah disebutkan sebagai suatu kemuduran dari kesenian tarling itu sendiri. Kesenian tarling memberikan kebebasan untuk terus diimprovisasi. Hal ini juga berkaitan dengan strategi atau cara untuk kesenian ini tetap eksis dan terus dinikmati oleh masyarakat pada umumnya.
Sebelumnya disebutkan bahwa secara mendasar tarling terbagi atas dua bentuk, yakni tarling klasik dan tarling modern. Adapun komposisi lagu tarling klasik merupakan modifikasi dari kesenian karawitan Cirebon, dan umumnya diciptakan dan dimainkan dalam laras pelog. Tarling bentuk klasik memiliki bentuk dan pola yang tetap. Contoh dari tarling bentuk klasik ialah Kiser Saidah. Adapun tarling modern, berdasarkan sumber melodi dan bentuk irama yang digunakan terbagi lagi atas dua jenis. Hal tersebut terdiri atas irama Cirebon beraturan dan irama Cirebon tidak beraturan.
Tarling modern dengan bentuk irama beraturan berpijak dan merupakan karya modifikasi dari karya tarling klasik maupun lagu khas Cirebon. Notasi lagunya memiliki bentuk tetap dan tertulis, syair lagunya mulai terarah dan subjektif. Lagu tarling dalam bentuk irama ini mulai berkembang pada tahun 1960-an. salah satu contoh bentuk tarling ini ialah Warung Pojok. Kemudian, tarling dengan bentuk irama Cirebon tidak beraturan data digolongkan lagi menjadi dua jenis, yakni senyawa dan irama Cirebon beraturan dan ingkar dari karawitan Cirebon. Bentuk tarling dengan senyawa dan irama Cirebon beraturan lebih dekat dengan model lagu gamelan Cirebon. Ia berdiri sendiri dan interval melodi lagunya mirip dengan lagu karawitan. Sedangkan, tarling dengan bentuk yang ingkar dari alur karawitan Cirebon banyak dipengaruhi oleh bentuk asing dari jenis lagu lain, terutama musik pop dan dangdut.
Tarling sebagai salah satu bentuk budaya di Cirebon agaknya patut untuk dilestarikan dan dapat menjadi bentuk warisan budaya Cirebon selain bentuk warisan budaya fisik yang telah ada. Tarling memang bukan produk budaya yang bersifat fisik dan statis, ia terbentuk dari sebuah ide dan diwujudkan dalam bentuk musik khas yang dinikmati masyarakat lokal. Namun, permasalahannya ialah bagaimana untuk melestarikan salah satu bentuk warisan budaya ini tetap eksis dan tetap awam didengar oleh masyarakat?
Tepat jika tarling sebagai salah satu jenis musik dalam stratetgi pelestariannya ialah dengan diperdengarkan secara kontinu di beberapa kawasan publik dan vital dalam lingkungan kota/kabupaten. Beberapa lingkungan vital dan publik dapat berupa tempat yang ramai didatangi orang, yakni pusat transportasi. Stasiun menjadi salah satu tempat strategis dalam strategi atau cara pelestarian ini. lagu-lagu tarling akan diputar dan diperdengarkan di dalam area stasiun sebagai bentuk identitas diri kota/kabupaten Cirebon. Stasiun dianggap sasaran yang tepat sebab moda transportasi ini cukup awam digunakan. Selain itu, disamping digunakan sebagai sarana pelestari, pemutaran lagu tarling di kawasan Cirebon dapat menjadi gerbang awal dari pengenalan bagaimana budaya Cirebon kepada masyakarat luar Cirebon yang datang berkunjung.
Konsep ini sebenarnya telah digunakan lumayan lama di Stasiun Cirebon. Hal ini dapat dibuktikan dengan pemutaran lagu “Kota Cirebon” di Stasiun Kejaksan Cirebon dan Prujakan. Selain dua stasiun tersebut, lagu itu pula diputar di stasiun lain di wilayah Daop III Cirebon. Pemutaran lagu ini cukup baik untuk memperkenalkan dan melestarikan lagu khas Cirebon, serta dapat memberikan sense “rumah” bagi masyarakat Cirebon yang kembali dari perantauan. Dari perasaan yang didapat tersebut dapat dimungkinkan bagi masyarakat yang telah asing dengan lagu dan musik khas daerahnya untuk kembali merasakan bahwa lagu atau jenis musik tersebut ialah salah satu bentuk kebudayaan khas Cirebon yang harus dilestarikan.
Sumber:
Abdillah, Rijal. 2015. “Nilai dan Pesan Moral Tarling Menurut Perspektif Pelaku Kesenian Tarling Cirebon: Studi Psikologi Budaya”, dalam Psikologika Vol. 20 №1 2015
Hidayatullah, Riyan. 2015. “Seni Tarling dan Perkembangannya di Cirebon”, dalam CaLLs Vol. 1 №1 Juni 2015
Hove, Van. 1984. Ensiklopedi Indonesia. Jakarta: Ichtiar Baru