Javaanse-Westbidder: Kajian Budaya Kelompok Islam-Jawa di Suriname Abad 20

Hidai
11 min readMar 17, 2022

--

Kedatangan Orang Jawa di Suriname

Masyarakat majemuk dapat terbentuk oleh sebab beragamnya golongan masyarakat di suatu wilayah. Berbagai tipe masyarakat hidup dalam satu kesatuan wilayah namun masing masing memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan satu dengan yang lain. Furnivall bahkan menyebutkan bahwa apa yang disebut dengan masyarakat majemuk atau Plural Society ialah terdiri atas beberapa kelompok yang masing-masing memiliki bahasa, agama, budaya, maupun tradisi tersendiri yang membedakan satu kelompok dengan kelompok lainnya. Salah satu wilayah yang memiliki karakteristik masyarakat seperti ini ialah Suriname.

Suriname merupakan wilayah bekas jajahan Inggris dan Belanda. Wilayah yang memiliki luas sekitar 163.265 km2 ini terletak di wilayah Amerika Selatan yang berbatasan dengan perairan Samudra Atlantik. Suriname sempat menjadi wilayah koloni Inggris sejak tahun 1651, kemudian beralih menjadi kekuasaan Belanda pada tahun 1667. Peralihan kuasa atas Suriname ini dilakukan atas perjanjian Perdamaian Breda dimana Suriname menjadi wilayah tukar dengan New York atau New Amsterdam saat itu. Suriname merupakan wilayah yang relatif subur untuk pertanian serta kaya akan hasil tambang. Namun, kelebihan sumber daya alam ini tidak diiringi dengan kekayaan sumber daya manusiannya. Suriname terhitung berpenduduk minim, pada tahun 1949 saja penduduk suriname hanya berkisar 216.124 orang. Jumlah itu pun terbentuk pasca ragam aktivitas imigrasi pekerja dijalankan pemerintah.

Seiring dengan timpangnya kekayaan alam dan kebutuhan pekerja, pengadaan pekerja dari luar pun dijalankan. Sebelum tahun 1863, para pekerja di Suriname merupakan para budak yang didatangkan dari Afrika. Pasca perbudakan itu dihapuskan pada 1 Juli 1863, para pekerja didatangkan dari wilayah jajahan Spanyol dan Portugis di Samudra Atlantik, serta para pekerja dari Cina. Namun, pengadaan pekerja dari wilayah ini menemui kegagalan sebab kelompok yang masyarakat yang didatangkan itu sama sekali tidak cocok dalam bidang pertanian maupun perkebunan. Maka diputuskanlah perjanjian dengan Inggris untuk mendatangkan para pekerja dari wilayah India ke Suriname pada tahun 1873, selang 10 tahun dari diputusnya sistem perbudakan. Pada 4 Juni 1873 rombongan pekerja India pertama didatangkan ke Suriname. Pengadaan pekerja kontrak dari India ini dilakukan hingga tahun 1916.

Pengadaan pekerja kontrak dari India itu masih dirasa kurang oleh pemerintah kolonial di Suriname saat itu. Pihak Inggris pun menuntut banyak syarat yang dirasa oleh pihak Belanda di Suriname memberatkan pihak mereka. Syarat mengenai jangka waktu kerja, pengadaan kontrolir Inggris di perkebunan Suriname, hingga hak Inggris untuk dapat kapan saja memutus perjanjian pengadaan pekerja India dirasakan menyulitkan pihak suriname. Atas hal itu, perjanjian pengadaan kerja pun diadakan dengan NHM (Nederlandsch Handel Maatschappij) di Hindia Belanda. Kesepakatan tersebut membuahkan hasil dengan diberangkatkannya rombongan pertama pekerja kontrak Hindia Belanda yang sebagian besar berasal dari wilayah Jawa. Rombongan tersebut terdiri atas 100 orang pekerja yang tiba di Suriname pada 9 Agustus 1890. Pengadaan pekerja kontrak dari Jawa ini berlangsung hingga tahun 1939.

Dengan maraknya pengadaan pekerja kontrak dari berbagai wilayah dan terdiri atas beberapa bangsa, menjadikan makin beragamnya kelompok masyarakat Suriname. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, Suriname patut disebut sebagai contoh nyata dari bentuk masyarakat majemuk. Ini terjadi sebab wilayah Suriname memiliki ragam masyarakat yang hidup berdampingan namun masing-masing masyarakat hidup dengan karakteristik mereka tersendiri. Pada periode abad 20 saja, kelompok masyarakat di Suriname mencakup masyarakat Kreol, India, Cina, Eropa, Marron, serta Jawa.

Seperti apa yang disebut Furnivall, bahwa kelompok masyarakat dalam konteks masyarakat majemuk memiliki karakteristik khusus yang membedakan antara satu dan lainnya. Berbagai kelompok masyarakat di Suriname itu pun saling memiliki dan menguatkan identitas masing masing, baik identitas bangsa maupun budaya. Penunjukan identitas masing-masing tersebut dapat dilakukan melalui penggunaan bahasa maupun pelaksanaan budaya dan tradisi masing masing. Dalam konteks ini, masyarakat Jawa pun tidak terlepas dari hitungan.

Masyarakat Jawa memiliki identitas yang kental dan membedakannya dengan masyarakat lainnya, terutama di lingkup Suriname. Pola budaya dan bahasa tetap lestari dilaksanakan oleh kelompok masyarakat ini. Tak terkecuali pemahaman religi serta tradisi. Pemahaman religi yang dimaskud ialah konsep keagamaan masyarakat jawa itu sendiri dan peribadatannya, serta tradisi yang mengiringinya. Di Suriname, masyarakat Jawa terbagi atas dua kelompok berbeda berdasarkan konteks religi atau kepercayaan. Perbedaan yang paling mencolok ialah terkait arah kiblat Mereka itu disebut dengan kelompok kiblat barat dan kiblat timur. Perbedaan yang terjadi antara dua kelompok ini bukan saja berkaitan dengan pemahaman arah kiblat, melainkan juga mencakup pemahaman serta tradisi keagamaan. Golongan kiblat barat sangat kental dalam melestarikan budaya islam-jawa, sedangkan lainnya bersifat lebih puritan terhadap hal tersebut.

JAWA DI SURINAME

Kelompok pertama masyarakat Jawa di Suriname ialah rombongan pekerja kontrak yang didatangkan tahun 1890. Pengadaan pekerja kontrak Jawa ini berlangsung hingga tahun 1939 dengan total pekerja yang didatangkan ialah 33.000 orang. Pengadaan pekerja Jawa di Suriname ini membawa dampak bertambahnya golongan etnis baru di kawasan Suriname. Pekerja kontrak jawa memang hanya dikontrak selama 5 tahun, namun tidak semua dari mereka memutuskan untuk kembali ke Indonesia. Hingga tahun 1940 hanya ada sekitar 7.687 orang yang kembali, sedangkan lainnya memutuskan untuk menetap di Suriname. Faktor seperti anggapan mereka akan jauh lebih miskin ketika kembali ke Jawa, malu untuk kembali ke Jawa, maupun takut menggunakan kapal laut menjadi beberapa alasan mengapa sebagian besar pekerja itu memilih untuk menetap di Suriname (Allen, 2011: 206).

Orang Jawa yang didatangkan itu sebagian besar dipekerjakan di berbagai Perkebunan di Suriname. Mereka diberi kontrak selama 5 tahun dengan jangka waktu kerja selama 6 hari perminggu. Sebagian para pekerja kontrak ini mendapat jaminan tinggal yang diperuntukkan untuk pekerja. Meskipun, jaminan tempat tinggal yang mereka dapatkan itu seringkali di bawah standar. Dalam perkembangannya, kelompok orang jawa menjadi salah satu populasi terbesar di Suriname. Terhitung dari data penduduk tahun 1950, 1964, dan 1971, penduduk jawa menempati posisi ketiga di bawah kelompok Kreol dan Hindustan (Menke, 2016: 84).

Suriname merupakan contoh dari masyarakat multientik dan multikultur. Kemajemukan masyarakat di Suriname bukan saja melahirkan keberagaman yang ada, namun menumbuhkan pula sentiment-sentimen sosial yang tak jarang berakar dari masalah etnis yang ada. Kelompok Jawa menjadi salah satu kelompok yang mendapat sentiment tersebut disamping kelompok Hindustan. Kedudukan masyarakat Jawa di Suriname dapat dikatakan sebagai pihak yang ‘jauh’ dari kelompok masyarakat lainnya. Hal ini berkaitan dengan konteks etnis itu sendiri. Tiap kelompok etnis memiliki identitas mereka tersendiri yang membuat mereka makin jauh untuk berbaur dengan kelompok masyarakat lainnya. Penilaian dari satu etnis kepada etnis lainnya pun terjadi. Seperti halnya kelompok Kreol yang menyebut kelompok Jawa sebagai lau-lau atau malahi yang berarti bodoh (Hoefte, 2014: 9). Sementara, kelompok Jawa menganggap diri mereka sendiri sebagai masyarakat yang berbudi tinggi (Ismael, 1955: 55).

Orang Jawa di Suriname sangat lekat dalam melestarikan kebudayaan mereka. Bahasa maupun tradisi tetap lestari dalam kelompok ini. Bahasa Jawa menjadi bahasa sehari-hari masyarakat ini. Bahasa Jawa juga digunakan dalam beberapa media di Suriname. Adapun bahasa Jawa yang digunakan orang Jawa di Suriname ialah sebagian besar bahasa Jawa ngoko. Hal ini berkaitan dengan asal-usul para pendatang Jawa itu yang berasal dari kalangan pekerja atau petani, bukan dari kelompok pejabat-priyayi maupun bangsawan keraton.

Selain bahasa, budaya Jawa lain seperti kesenian wayang turut pula dilaksanakan di Suriname. Pertunjukan wayang sendiri disebutkan telah ada dan dimainkan di Suriname sejak adanya periode kontrak kerja. Pengadaan pertunjukan wayang untuk pekerja Jawa tersebut ditujukan untuk mengalihkan perhatian para pekerja dari hiburan lain yang dianggap lebih merugikan, seperti judi maupun madat. Untuk itu, para pemegang perkebunan mengadakan pertunjukan wayang sebagai ajang hiburan satu-satunya bagi para pekerja jawa tersebut.

Keberadaan wayang di Suriname tetap lestari meskipun periode pekerja kontrak Jawa telah selesai. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya pusat budaya Jawa yang ada di Suriname. Pusat budaya tersebut bernama “Sana Budaya” yang didirikan sejak tahun 1990 oleh VHJI (Vereniging Herdenking Javaanse Immigratie). Pusat budaya Sana Budaya ini bukan saja melestarikan pertunjukan wayang, melainkan budaya Jawa lainnya seperti pencak silat, tari-tarian dan musik tradisional Jawa pula turut dilaksanakan. Pelaksanaan budaya oleh organisasi ini tidak terbatas pada mempertunjukkannya pada khalayak ramai, melainkan diadakan pula kursus mengenai budaya maupun bahasa Jawa.

Budaya Jawa yang berkembang di Suriname pula mencakup konsep idea seperti konsep persaudaraan sedulur tunggal seweteng. Konsep budaya ini menunjukkan konsep persaudaraan dimana para kelompok Jawa di Suriname ini masih bersaudara. Atas hal itu, tak jarang dalam dilakukannya berbagai tradisi Jawa, konsep gotong royong dan kebersamaan masih dijalankan. Bukan hanya itu, adapula konsep budaya yang begitu lekat dengan orang Jawa di Suriname yang mana meskipun tempat tinggal mereka sudah berubah namun konsep tersebut masih lestari dijalankan. Adapun konsep yang dimaksud berkaitan dengan konsep religius atau keagamaan yang mencakup pemahaman dasar serta kegiatan maupun upacara keagamaan yang ada.

JAVAANSE-WESTBIDDER

Kelompok masyarakat Jawa pertama kali tiba di Suriname pada tahun 1890 dengan membawa sejumlah 100 orang. Hingga pada periode perjanjian kontrak diberhentikan tahun 1939, setidaknya sejumlah 33.000 orang Jawa telah datang di Suriname. Sebagian dari mereka ada yang dapat kembali ke Indonesia, sementara sebagian lagi memilih atau terpaksa untuk menetap di Suriname hingga negara itu mencapai kemerdekaannya. Adapula orang Jawa yang memilih untuk bermigrasi kembali ke Belanda pasca Suriname merdeka. Secara singkat, pasca diadakannya perjanjian kontrak untuk membawa pekerja jawa ke Suriname, diaspora etnis ini berkembang secara luas. Mereka berdiaspora dengan tetap membawa serta pemahaman dan budaya Jawa mereka, sebagai tolak ukur identitas di lingkungan baru yang mereka tinggali.

Para pekerja jawa yang didatangkan ke Suriname sebagian besar beragama islam dan berasal dari kalangan masyarakat petani. Jika ditilik dari apa yang disebutkan oleh Geertz (2014) mengenai klasifikasi masyarakat Jawa dalam kaitannya dengan konsep etis maupun religi, mayoritas pekerja jawa yang datang itu dapat dikatakan bagian dari kelompok Abangan. Mereka datang dari wilayah-wilayah desa di berbagai bagian Jawa, dengan membawa kemampuan dan identitas diri sebagai sekelompok petani. Kelompok abangan erat kaitannya dengan konsep sinkretisme dalam agama orang Jawa. Kelompok ini erat memegang teguh prinsip kepercayaan nenek moyang yang dapat disebut sebagai animisme, konsep Hindu, serta pemahaman Islam sebagai agama pendatang.

Kelompok Jawa di Suriname sebagian memegang konsep tersebut. Mereka menjalankan budaya dan tradisi yang berkesinambungan sebagaimana budaya asal mereka dari tanah Jawa. Selain itu, ada pula budaya lain yang menjadi ciri khas mereka bahkan hingga saat ini. Hal tersebut ialah berkaitan dengan pemahaman arah kiblat. Masyarakat Jawa yang datang ke Suriname sejak tahun 1890 itu tidak memahami kondisi geografis Suriname yang notabene berbeda dengan Hindia Belanda atau wilayah Jawa. Mereka beribadah dengan arah yang sama sebagaimana mereka beribadah ketika di Jawa, yakni menghadap barat. Persoalan ini tentu merupakan suatu yang unik, karena apa yang dibawa mereka bukan saja wujud budaya benda, melainkan wujud budaya yang berbentuk idea atau pemahaman. Adapun sebab dari persoalan ini dapat juga disebabkan oleh komposisi kelompok Jawa yang seluruhnya merupakan masyarakat awam dan tidak adanya tokoh sentral yang memiliki pengetahuan lebih terutama berkaitan dengan perubahan arah kiblat.

Permasalahan arah kiblat di kalangan masyarakat Jawa-Suriname ini pula menyebabkan terbaginya kelompok masyarakat Jawa kemudian. Memasuki abad 20, pemahaman reformis islam berkembang di Hindia Belanda. Hal tersebut pula merambat hingga masyarakat Jawa di Suriname. Sejak tahun 1923, gelombang pendatang jawa yang merupakan reformis islam mulai berdatangan. Kelompok Jawa pasca 1923 ini memiliki kebiasaan keagamaan yang berbeda dengan para imigran Jawa pra 1923. Jika kelompok Jawa pra 1923 dikatakan sebagai kelompok tradisionalis, sedangkan kelompok pasca 1923 merupakan puritan. Tidak seperti kelompok Jawa-Suriname periode awal, imigran Jawa pasca tahun ini tidak begitu lekat dengan pelaksanaan sinkretisme Islam-Jawa bahkan lebih kepada menentang pada pelaksanaan pemahaman tersebut.

Perbedaan yang terjadi pun tentu berkaitan pula dengan arah kiblat. Kelompok Jawa Puritan ini berposisi lebih paham mengenai letak geografis Suriname yang sangat berbeda dengan Jawa. Mereka membawa pemahaman bahwa arah Mekah dari Suriname bukanlah barat melainkan arah timur laut. Pemahaman baru ini ternyata tidak begitu disambut baik oleh kelompok Jawa sebelumnya. Kelompok awal tetap menjalankan keyakinan mereka yakni beribadah ke arah barat dan menjadikan kelompok Jawa di Suriname terbagi atas kelompok yang dibedakan melalui arah kiblat mereka. Kelompok pertama yang menjadikan arah barat sebagai arah kiblat disebut sebagai kelompok Westbidder atau Wong Madhep Ngulon. Sedangkan kelompok kedua disebut sebagai kelompok Oostbidder atau Wing Madhep Ngetan (Ichwan, 1999: 3). Kedua kelompok ini masing masing memiliki pemahaman tersendiri terhadap kepercayaan agama mereka, serta identitas budaya yang mengiringinya, selain tentu saja arah kiblat yang mereka yakini.

SLAMETAN

Slametan menjadi poros dari kegiatan keagamaan kelompok abangan Jawa. Bukan hanya orang Jawa di lingkungan Jawa-nya, melainkan kelompok Jawa yang jauh merantau ke Suriname. Adapun kelompok Jawa yang melakukan tradisi slametan di Suriname ialah para kelompok Westbidder atau orang Jawa yang tetap teguh dalam menetapkan keyakinan mereka dalam memilih arah barat sebagai arah kiblat.

Slametan merupakan serangkaian upacara yang dilakukan selama hidup. Slametan dapat diartikan sebagai suatu perayaan siklus kehidupan seorang manusia. Slametan dilakukan dari sebab adanya kelahiran hingga kematian. Slametan pula dilakukan pada masa-masa penting yang terjadi dalam kehidupan manusia, seperti khitanan, pernikahan, masa panen, dan lain sebagainya. Selain perayaan siklus hidup manusia, perayaan besar keagamaan dan kepercayaan pun seringkali diiringi dengan kegiatan slametan. Konsep slametan sejatinya ialah suatu pesta komunal Jawa (Geertz, 2014: 3). Kegiatan ini memungkinkan turut serta dari berbagai pihak dan atas hal itu melambangkan kesatuan sosial yang terjalin.

Slametan di Suriname tidak begitu berbeda dari yang ada di Jawa. Slametan di Suriname terdiri atas upacara siklus hidup dari mitoni hingga njewu. Setidaknya terdapat dua tipe slametan siklus hidup, yakni perayaan kelahiran dan perayaan kematian. Slametan dalam perayaan kelahiran terdiri atas prokohan atau mitoni dalam istilah Jawa, Sepasaran atau puputan, selapan atau upacara 35 hari pasca kelahiran, ngedakaken siti sebagai upacara 7 bulan pasca kelahiran atau upacara turun tanah, kemudian njetauni sebagai perayaan tahun pertama pasca kelahiran.

Slametan dalam perayaan kematian memiliki beberapa ragam. Upacara pertama merupakan njurtenah atau upacara peringatan kematian yang dilakukan tepat setelah kematian seseorang. Kedua, upacara kematian yang dilakukan 3 hari setelah kematian. Ketiga, slametan mitoong dino. Slametan ini dilakukan pada hari ketujuh pasca kematian. Kemudian, upacara peringatan kematian selanjutnya dilakukan satu tahun pasa kematian yang disebut sebagai njatus dino atau manda pisan. Peringatan kematian tersebut dilanjutkan pada tahun kedua, yakni manda pindo. Terdapat upacara slametan kematian yang begitu penting dalam masyarakat Jawa, yakni njewu. Slametan ini dilakukan 1000 hari pasca kematian. Adapun maksud diadakannya upacara 1000 hari ini ialah kepercayaan bagi masyarakat jawa bahwa arwah seseorang yang meninggal pada hari ke 1000 ini telah bersih sepenuhnya, arwah tersebut dapat sepenuhnya berpindah dan tak lagi terikat dengan asalnya ketika masih hidup..

SIMPULAN

Suriname merupakan salah satu negara yang memiliki kekayaan etnis, kultural, serta dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk dari konsep masyarakat plural. Kekayaan etnis itu terbentuk dari kekurangan penduduk sebelumnya. Berbagai peraturan mengenai pengadaan pekerja kontrak pasca dihilangkannya praktek perbudakan menjadi salah satu faktor ragamnya etnis di Suriname terjadi. Etnis Jawa menjadi salah satu kelompok yang didatangkan sejak akhir abad 19 hingga pertengahan abad 20.

Kedatangan kelompok Jawa itu menambah ragam etnis di Suriname. Keberadaan etnis Jawa pula memunculkan identitas baru bagi mereka, kelompok Jawa sendiri. Identitas tersebut ialah masyarakat islam yang menggunakan arah barat sebagai arah kiblat menuju Makkah. Terlebih pasca adanya gelombang pekerja jawa yang baru, identitas ini makin lantang disebabkan kelompok yang lebih baru tersebut menerapkan arah timur sebagai arah kiblat, arah yang tepat jika ditilik secara geografis.

Kelompok westbidder bukan saja berbatas pada permasalahan kiblat. Lebih dari itu, identitas kiblat itu pula menunjukkan identitas budaya mereka. Yang satu merupakan kelompok Jawa yang kental akan budaya leluhur Jawanya, serta melestarikan pemahaman Islam-Jawa dalam kegiatan keagamaan. Sedangkan yang lainnya lebih puritan terhadap itu.

Referensi

Allen, Pamela. “Javanese Cultural Traditions in Suriname”, Review of Indonesian and Malaysian Affairs, Vol. 45 №1&2, 2011

Ferran, Ingrid Vendrell. “Religious Emotiom as a Form of Religious Experience”, The Journal of Speculative Philosophy Vol. 33 №1, 2019

Geertz, Clifford. 2014. Agama Jawa: Abangan, Santri, Priyayi dalam Kebudayaan Jawa. Depok: Komunitas Bambu

Hendrix, Noor, Marjoeleine van Waning. 2010. De Javaanse Moslims in Suriname: Een Kwalitatief onderzoek anno 2009. Thesis. Utrecht: Universiteit Utrecht

Hoefte, Rosemarijn. 2014. Suriname in The Long Twentieth Century. New York: Palgrave Macmillan

Ichwan, Moch Nur. “Continuing Discourse on Keblat: Diasporic Experience of The Surinames Javanese Muslims in The Netherlands”, Sharqiyyat Vol. 11 Tahun 1999.

Ismael, Yusuf. 1955. Indonesia Pada Pantai Lautan Atlantik: Tinjauan tentang Kedudukan ekonomi dan sosial Bangsa Indonesia di Suriname. Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P.P. dan K.

Maftukhin. “Islam Jawa in Diaspora and Question on Locality”, Journal of Indonesia Islam Vol. 10 №2, 2016

Menke, Jack. 2016. Mozaiek van Het Surinaamse Volk: Volkstellingen in Demografisch, Economisch en Sociaal Perpesctief. Tidak disebutkan: ABS en IGRS

Nina, Herlina. 2008. Metode Sejarah. Bandung: Satya Historika

Rex, John. “The Plural Society in Sociological Theory”, The British Journal of Sociology Vol. 10 №2, 1959

Villerius, Sophie Elise. 1988. Development of Surinamese Javanese: Language Contact and Change in a Multilingul Context. Amsterdam: LOT

--

--

Hidai

(a self-claim) Writer || Books, Culture, History, Poets' enthusiast