Menilik Teori Harari dalam Peristiwa Kelaparan di Cirebon, 1843–1847

Hidai
4 min readFeb 21, 2022

--

Ilustrasi: Kelaparan di Madras, India tahun 1877. (Sumber: Wikipedia Commons)

“Mass famines still strike some areas from time to time, but they are exceptional, and they are almost always caused by human politics rather than natural catastrophe”.
Yuval Noah Harari
Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015)

Kutipan menarik dari buku karangan Yuval Noah Harari dalam bukunya Homo Deus. Ia menyebutkan bahwa kelaparan pada era modern berbeda dengan kelaparan yang terjadi pada beberapa abad ke belakang. Kelaparan yang terjadi era modern tidak ubahnya merupakan reaksi dari hasil ‘rekayasa’ politik manusia sendiri.

Teori ini membuat saya tertarik untuk melihat fenomena kelaparan di salah satu wilayah Indonesia dengan menggunakan perspektif sejarah. Fenomena kelaparan tersebut terjadi di Cirebon pada abad 19, tepatnya selama tahun 1843 hingga 1847. Apakah teori dari Harari masih dapat mencakup periode yang baru akan mendekati era modern ini? Mari kita lihat.

Kelaparan di Cirebon terjadi setidaknya difaktori oleh dua faktor utama, yakni pengalihfungsian lahan padi dan munculnya monopoli manufaktur penggilingan padi.

Pengalihfungsian lahan padi di Cirebon merupakan salah satu akibat dari kebijakan sistem tanam paksa pada era Bosch. Tanam paksa merupakan kebijakan yang diterapkan bagi para petani untuk menyisihkan sebagian lahan mereka. Lahan yang mereka sisihkan tersebut kemudian digunakan untuk ditanami tanaman komoditi ekspor, seperti tebu, lada, kopi, dan indigo. Komoditi ekspor di Cirebon sendiri mencakup gula dan indigo.

Pengalihfungsian lahan padi di Cirebon semakin parah ketika memasuki tahun 1833 sehubungan dengan kebijakan regional yang diterapkan oleh B.J. Elias selaku residen Cirebon saat itu. Kebijakan tersebut mencakup ketentuan mengenai pengalihan fungsi sebagian lahan padi sebagai area tanam indigo. Hal ini terjadi karena hasil produksi indigo pada beberapa tahun sebelumnya tidak mencapai ekspektasi pemerintah. Tidak hanya itu, ketika produksi indigo dianggap tidak lagi begitu menguntungkan, lahan-lahan indigo itu dialihfungsikan sebagai area tanam tebu untuk keperluan produksi gula.

Pengalihfungsian lahan padi menjadi area tanam indigo dan kemudian tebu mengganggu alur pasokan padi (beras) sebagai bahan pangan utama masyarakat Cirebon. Hal ini menjadi pembuka dari krisis pangan di Cirebon yang kemudian diperparah dengan berkembangnya pabrik penggilingan padi. Pabrik penggilingan tersebut dimiliki oleh pengusaha swasta, Jan Jacob Braam dan H. Burger. Pabrik penggilingan ini mulai beroperasi pada tahun 1843 dan memiliki wewenang monopoli atas industri penggilingan padi di Cirebon.

Hasil panen padi yang sebelumnya menjadi pembayaran pajak tanah langsung kepada pemerintah, kemudian dialihkan untuk dikirimkan ke pabrik penggilingan Braam & Burger tersebut. Dari sinilah terjadi kolusi antara pabrik Braam & Burger dengan residen Cirebon, T. Ament. Dari pemberian izin monopoli hingga perubahan kebijakan secara sepihak mengenai penyerahan hasil panen para petani kepada pabrik penggilingan Braam & Burger. Perlu digaris bawahi bahwa penyerahan hasil panen ini tidak selalu hanya terbatas pada jumlah seberapa banyak pajak yang dikenakan oleh para petani. Faktanya bahkan tidak jarang bahwa penyerahan padi ini memiliki kuantitas yang lebih besar.

Dari sinilah kemudian menjadi gerbang awal dari kemalangan yang terjadi di Cirebon selama periode 1843 hingga 1847. Kelaparan melanda masyarakat Cirebon. Kemalangan yang difaktori oleh pengalihfungsian lahan dan monopoli penggilingan kemudian diperparah oleh peristiwa gagal panen yang terjadi satu tahun setelah tumbuhnya pabrik penggilingan di Cirebon. Sayangnya, penyebab atas peristiwa gagal panen ini tidak begitu diketahui. Apakah disebabkan oleh kondisi alam secara natural? ataukah adanya human-error? belum dapat diketahui secara pasti.

Gagal panen tentu menambah ricuhnya alur pasokan pangan di lingkup masyarakat Cirebon. Pasokan pangan yang sebelumnya telah tipis lebih diperparah lagi ketika terjadinya gagal panen. Penyerahan padi kepada pabrik penggilingan pun ternyata tetap dilakukan. Pasokan pangan semakin menipis dan kelaparan pun semakin menjadi. Peristiwa kelaparan di Cirebon juga diperparah oleh tingginya harga beras yang ditetapkan pabrik Braam & Burger. Situasi ini menimbulkan apa yang disebut Hugenholtz sebagai Price Famine. Situasi dimana kelaparan yang terjadi di masyarakat kolektif disebabkan oleh ketidakmampuan masyarakat untuk memperoleh bahan pangan karena harga pasar bahan pangan yang tersedia berada pada angka yang tinggi.

Peristiwa kelaparan di Cirebon mengakibatkan timbulnya korban jiwa. Tidak diketahui pasti secara total berapa korban jiwa di seluruh area Karesidenan Cirebon. Namun, menurut pada Kartodirdjo diperkirakan bahwa jumlah penduduk di salah satu distrik Karesidenan Cirebon berkurang dari jumlah 336.000 jiwa menjadi 120.000 jiwa pada kurun waktu peristiwa kelaparan terjadi. Peristiwa kelaparan di Cirebon pula mengakibatkan berpindahnya sebagian penduduk Cirebon ke berbagai wilayah.

Peristiwa kelaparan di Cirebon mulai mengalami kemunduran ketika pemerintah mulai melakukan tindakan. Pemerintah berinisiasi membeli kembali sejumlah produksi beras dari pabrik penggilingan Braam & Burger pada tahun 1847. Pemerintah pula melakukan tindakan lain yakni menutup operasi pabrik penggilingan padi Braam & Burger di Cirebon per tahun 1847.

Dengan melihat fenomena kelaparan di Cirebon selama periode 1843 hingga 1847, dapat diketahui bahwa faktor yang melatarbelakangi peristiwa ini adalah adanya gagal panen yang kemungkinan disebabkan oleh natural catastrophe dan diperparah dengan kondisi lahan padi yang menipis serta politisasi hasil panen dan harga produksi beras oleh pabrik Braam & Burger. Maka dari itu, ketika merujuk kembali pada teori Harari yang menyebutkan peristiwa kelaparan pada era modern lebih disebabkan oleh politik manusia itu sendiri, agaknya peristiwa kelaparan yang terjadi di Cirebon pada periode yang mendekati modernisme ini dapat dikatakan masih linear dengan teori Harari. Meskipun tidak secara keseluruhan, sebab masih adanya kemungkinan faktor alam yang bermain di situ yakni peristiwa gagal panen.

Sumber:

Elias, B.J.. 1840. “Inrigting en Verdeelingen der Werkzaamheden bij de Kleine Indigofabrieken”, dalam Staatsblad van Nederlandsch Indie Voor 1833–1837. ‘S Gravenhage: Ter Drukkerij van A.D. Schinkel

Fernando, M.R.. 2010. “Famine in a Land of Plenty; Plight of a Rice-growing Community in Java, 1883–84”, dalam Journal of Southeast Asian Studies Vol. 41 No. 2

Harari, Yuval Noah. 2016. Homo Deus: A Brief History of Tomorrow. New York: Vintage

Hoevell, W.R.. 1849. Reis Over Java, Madura en Bali in het Midden van 1847 Volume I. Amsterdam: P.N. van Kampen

Hugenholtz, W.R.. 1986. “Famine and Food Supply in Java 1830–1914”, dalam C.A. Bayly & D.H.A. Kolff (Ed.). Two Colonial Empires: Comparative Essays on the History of India and Indonesia. Dodrecht: Martinus Nijhoff

Kartodirdjo, Sartono. 2020. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500–1900 Dari Emporium Sampai Imperium. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Nugraha, Awaludin dkk.. 2001. “Industri Indigo di Kabupaten Cirebon pada Masa Sistem Tanam Paksa (1830–1870)” dalam Jurnal Sosiohumaniora Vol. 3 No. 2

--

--

Hidai

(a self-claim) Writer || Books, Culture, History, Poets' enthusiast